Laman

Sabtu, 28 Februari 2015

Memahami Syariat dan Tidak Menjuaku

Soleh atau saleh, kadang-kadang disebut dengan kesalehan, ada dua: kesalehan individual dan kesalehan sosial.
Kesalehan individual yang kaitannya dengan hak-hak Tuhan. Seperti sembahyang, puasa, sedekah wajib dan lainnya. Ini penting dan wajib dilakukan oleh seorang hamba kepada Tuhannya.
Namun tidak kalah pentingnya, kesalehan sosial. Kesalehan dengan wujud pelaksanaan kita atas hak-hak sesama manusia. Kesalehan sosial ini juga harus senantiasa dijaga dan dirawat dengan usaha yang sungguh-sungguh.
Lebih-lebih, kesalehan social itu memiliki nilai universal. Artinya, kebenaran kesalehan sosial ini diakui oleh segala agama, budaya, adat-istiadat, tradisi dan bangsa apapun.
Beda dengan kesalehan individual yang tata caranya diatur oleh ajaran masing-masing. Sembahyang orang non muslim misalnya, beda dengan sembahyang muslim atau solat. Bahkan yang tidak bisa woles anti dengan istilah sembahyang untuk menamai sembahyang orang islam atau solat. Mudah-mudahan bisa dipahami. 
Berkata jujur, tidak berbuat curang dan korup, berbuat baik kepada tetangga, menjaga alam dan lingkungan, bekerja dengan total dan penuh dedikasi, bergaul dengan orang lain yang berbeda keyakinan secara baik, memandang semua manusia dengan persamaan hak dan bersikap adil. Demikianlah kesalehan sosial diajarkan oleh semua agama, termasuk oleh agama Islam, oleh syariat Islam.
Syariat adalah sinonim dari agama. Syariat bersumber dari Nash atau teks Al Quran dan Hadits. Syariat adalah satu hal. Sedangkan pandangan terhadap syariat, pemahaman terhadap syariat adalah satu hal lain yang berbeda.
Syariat selalu benar. Sedangkan pemahaman seseorang terhadap syariat bisa benar, bisa salah. Syariat sudah tentu benar. Sementera penjelasan seseorang tentang syariat islam bisa benar, bisa salah.
Karenanya para ulama terdahulu seringkali menutup penjelasan mereka dengan ucapan “Wallahu a’lam bishshawab.” Sebuah sikap rendah hati. Sebuah sikap yang lahir dari kesadaran bahwa: sebuah pemahaman dan penjelasan terhadap syariat belum tentu benar.
Berangkat dari relatifitas kebenaran dalam pemahaman terhadap syariat ini, sudah selayaknya kita bersikap toleran terhadap perbedaan mazhab dan golongan. Bersikap toleran, bahkan terhadap non muslim yang dijamin oleh negara. Toh, non muslim bukan orang yang wajib menerima pembebanan syariat atau taklif.
Apalagi terhadap saudara-saudara kita yang Syiah, Ahmadiyah dan lainnya. Tidak ada istilah kafir terhadap mereka, karena mereka juga menghadap ke kiblat yang sama. Dalam term tauhid  disebut dengan ahlul qiblah yang keberadaannya sama dengan kita.
Dengan sadar dan penuh kerendahan hati mari kita ucapkan, “Mazhabuna shawab, yahtamilul khatha’. Wa mazhabu ghairina khata’, yahtamilush shawab.”
“Pandangan saya benar dan masih mungkin mengandung kesalahan. Pandangan orang lain salah tapi masih mungkin mengandung kebenaran.”
Inilah sikap yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabat serta generasi ketiga yang dikenal dengan salaf soleh, orang-orang terdahulu yang soleh secara individu dan soleh secara sosial. Generasi awal islam yang penuh dengan toleransi dan kerendahan hati.
Sekali lagi, syariat sudah tentu benar secara absolut, tapi pemahaman dan penjelasan seseorang terhadap syariat itu relatif: bisa benar, bisa salah.
Kalau kebenaran pandangan terhadap syariat itu relatif, lalu bagaimana kita mengukurnya?
Pesan Nabi Muhammad kepada para sahabatnya, “Ma ana alaihi wa ashabi.” Ikutlah apa yang aku dan sahabat-sahabatku lakukan.
Maka syariat Islam yang harus diikuti adalah yang dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya. Mari meneladani Nabi dan para sahabatnya, dalam aqidah mereka, dalam sikap mereka mempermudah pelaksanaan ajaran Islam, bukan mempersulit. Dalam sikap mereka yang selalu mempertimbangkan konteks waktu dan tempat dalam menentukan keputusan. Bukan yang apriori terhadap konteks tempat dan mengabaikan kondisi zaman dalam bersyariat.
Dengan sikap arif dan bijak inilah, wajah Islam yang diperkenalkan oleh Nabi menjadi ramah dan memperoleh banyak simpati. Menjadi Islam ramah, bukan Islam marah.
“Fa bima rahmatim minallahi linta lahum. Walau kunta fazhzhan ghalizhal qalbi, lanfadhdhu min haulik.”
Maka sebab rahmat dan kasih sayang Allah, enkau bersikap lembut kepada mereka. Jika engkau kasar dan keras hati, niscaya mereka akan berlari darimu. (Ali Imran ayat 159)
Satu waktu dalam masa jabatannya sebagai amirul mukminin, Sayyidina Umar Bin Khattab pernah meniadakan permberlakuan hudud atau potong tangan kepada seorang pencuri. Dengan alasan yang arif lagi bijak, pertimbangan yang relevan dan kontekstual, ia tidak memberlakukan hukum potong tangan seorang pencuri onta. Karena ia mencuri pada masa paceklik yang memang sedang melanda negeri.
Demikian Umar yang terkenal dengan ketegasannya, dengan kepribadiannya yang keras. Namun tetap arif dan bijak memahami konteks waktu paceklik, di tempat berupa negeri yang sedang paceklik.
Maka sama halnya di Indonesia. Kita pahami Syariat Islam sebagai semangat untuk membuat Islam luwes dan cocok serta relevan untuk saat ini, di tempat ini, di Negara Indonesia yang kita cintai. Berjalan seiring dengan kostitusi yang ada, tanpa harus dibenturkan antara keduanya.
Secara sederhana syariat pasti memiliki prinsip. Prinsip-prinsip Syariat dirumuskan menjadi lima tujuan dasar. Lima tujuan dasar inilah yang menjadi sebab syariat dibutuhkan. Syariat yang universal. Syariat yang tidak diskriminatif terhadap golongan selain islam. Lima tujuan dasar syariat itu dikenal dengan Kulliyatul khams: hifzhunnafs, hifzhul 'aql, hifzhul mal, hifzhunnasl, dan hifzhuddin.

Pertama Hifzunnafs, memelihara jiwa setia orang tanpa terkecuali. Bukan Syariat Islam jika dengan gegabah mudah menghilangkan nyawa seseorang. Kedua, hifzul’aql, memelihara akal sehat. Bukan syariat islam jika menyebabkan fanatisme buta dan akal sehat serta nurani berhenti bekerja.

Ketiga, hifzul mal, memelihara harta kepemilikan setiap orang tanpa terkecuali. Bukan syariat Islam, jika menghalalkan penjarahan atas nama agama. Keempat, hifzhunnasl, memelihara garis keturunan. Bukan syariat Islam jika menghalalkan pergundikan hingga nasab seorang anak menjadi tidak jelas dan simpang siur.
Keempat, hifzuddin, memelihara agama. Bukan syariat  Islam jika memaksa penganut agama lain mengikuti agama kita. Karena tidak ada paksaan dalam agama.

Semoga Allah memberikan kita kemampuan dalam bersikap arif dan bijak, sebagaimana yang diajarkan Nabi Muhammad saw., para sahabat dan generasi awal islam yang toleran.

Wallahu a'lam bishshawab.

Jumat, 20 Februari 2015

Salafi Kini Dan Salaf Soleh Dulu

Salaf dalam bahasa Indonesia berarti orang terdahulu. Dalam kebudayaan Islam Salaf memiliki arti khusus.

Salaf merujuk pada generasi setelah tabi'in. Tabi'in adalah generasi setelah masa para sahabat.

Sedangkan Salafi hari ini mununjuk kepada suatu kelompok yang menjalankan Islam secara murni.

Murni dalam arti kembali kepada cara hidup dan beragama generasi Nabi, sahabat dan tabi'in beberapa abad lalu.

Salafi kini berpakaian dan berpenampilan lahiriah meniru generasi awal Islam ratusan tahun silam.

Generasi salaf, bukan salafi kini, menghiasi periode emas Islam pada sekitar abad ke 8 Masehi atau sekitar abad ke 2 Hijriah.

Ada banyak peninggalan yang bisa dibanggakan dari generasi salaf. Antara lain berupa karya ilmiah yang hingga kini masih bisa ditelaah.

Dalam bidang Ilmu Kalam pemikiran Washil Bin 'Atha merupakan cikal-bakal Islam rasionalis di abad modern.

Faham Jabariah, Qadariah, Murjiah dan faham minoritas lainnya dibiasakan_bukan dibinasakan_dikaji dan dihormati dalam perbedaan.

Di bidang syariat fase salaf melahirkan 4 imam mujtahid yang kepadanya hukum-hukum fiqih dinisbatkan.

Empat Imam Mazhab besar dalam fiqih yang hingga kini pendapatnya masih diikuti para pengikutnya: Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hanbali.

Di bidang hadits, muncul Imam besar hadits, Al Bukhari, Muslim, Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah.

Di bidang Hadits dan tafsir muncul ulama yang toleran terhadap perbedaan dalam penggunaan metode dan hasil pemikiran.
&&
Selain peninggalan berupa buku atau pemikiran, demikian generasi salaf juga meninggalkan banyak teladan dalam akhlak.

Tidak heran jika Kanjeng Nabi Muhammad menyebut generasi salaf termasuk satu dari tiga generasi terbaik.

Pada periode salaf telah muncul banyak perbedaan pendapat dalam Islam, di bidang syariat, tasawuf, filsafat bahkan teologi atau ilmu ketuhanan.

periode Salaf ini sarat dengan perbedaan pandangan. Akibatnya semakin memperkaya khazanah ilmu.

Khazanah ilmu yang nantinya membuat Islam menjadi mercusuar peradaban dunia.

Khazanah ilmu yang pada gilirannya menyinari Eropa dan belahan dunia lain yang banyak belajar dari Islam.

Perbedaan pandangan dan perdebatan pendapat itu boleh dalam islam. Bahkan bisa membuat Islam semakin sempurna.

Suatu aliran atau mazhab punya kekurangan dan kekurangan itu dilengkapi oleh aliran atau mazhab lain.

Inilah kondisi yang dihadapi oleh generasi Salaf: hari-hari yang kaya akan perbedaan pandangan.

Apakah perbedaan pandangan itu melemahkan Islam dan membuat generasi salaf berpecah-belah?

Jawabannya, tidak! Sama sekali tidak! Karena generasi salaf yakin bahwa perbedaan pendapat dalam  umat adalah rahmat.

Akhlak luhur generasi salaf mengalahkan kebanggaannya sebagai pelaksana ajaran Nabi dan para sahabat.

Bukan malah bangga merasa paling memurnikan ajaran dan paling berhati-hati lalu mengalahkan akhlak.

Lagipula melaksanakan ajaran Nabi seharusnya secara utuh, bukan hanya lahiriah saja, cara berpakaian saja misalnya.

Akhlak Nabi yang pertama. Kedua, laksanakan semangat Nabi dalam menghargai tradisi di mana tempat beliau berdakwah, pada masa beliau berdakwah.

Kanjeng Nabi sangat menghargai konteks, tempat dan waktu beliau berdakwah.

Hingga penghargaan terhadap tradisi setempat menjadi akhlak Nabi dalam sikap berislam secara lokal, bukan global.

Dengan lokalitas Islam menjadi fleksibel dan kaya. Islam menjadi agama yang cocok dengan segala tempat dan waktu.

Dengan lokalitas Islam membuat perbedaan justru saling melengkapi. Saling menyempurnakan.

Ada kata-kata Imam Syafi'i yang sangat bijak dalam menyikapi perbedaan pandangan.

"Mazhab kami benar dan masih mengandung kesalahan. Mazhab di luar kami salah dan masih mengandung kebenaran."

Karenanya amat pantas mereka disebut sebagai salaf soleh. Bukan sekedar salafi-salafi biasa yang terkesan aneh.

Karena soleh berarti berlaku layak sebagai hamba sesuai zaman dan tempat di mana ia hidup.

Kalau para salafi di abad ini sangat berhati-hati dalam meneliti pemurnian ajaran, hati-hatilah dalam segala hal.

Termasuk juga hati-hati dalam menilai perbedaan dan orang yang punya pandangan agama yang berbeda dengan mereka.

Sehingga sifat ekslusif tidak lagi menjadi ciri dari salafi. Sikap inklusif jadi kehangatan mereka dalam menyikapi perbedaan.

Mari membangun cara beragama yang ramah dan toleran. Mari menciptakan Islam yang menjadi kasih sayang bagi semua golongan.

Wallahu a'lam bishshawab.

Kamis, 19 Februari 2015

Memancing Tuhan

Apa yang kita lakukan kadangkala harus dirahasiakan, cuma kita yang tau, kadangkala boleh diperlihatkan.

Solat lima waktu ada yang bacaannya dimunculkan atau jahar dan ada yang bacaannya dipelankan atau sirr.

Begitu juga sedekah. Satu waktu boleh disembunyikan, jangan sampai tangan kiri tau apa yang diberikan tangan kanan.

Satu waktu sedekah boleh ditampakkan, untuk mencontohkan orang agar ikut bersedekah juga, misalnya.

Kalau ada kekhawatiran riya' pamer dalam melakukan ibadah yang ditampakkan tadi justru harus dilawan.

Beberapa ibadah tetap Allah terima meskipun seolah pamer. Seolah pamer lho ya, bukan yang jelas-jelas pamer.

Yang jelas-jelas pamer yang akan diterima, oleh orang yang menonton pameran itu. Sedang yang seolah pamer, karena dituntut untuk menampakkan, insyaallah diterima oleh Allah.

Solat dan sedekah satu waktu dituntut untuk 'seolah pamer'. Dan itu boleh.

Yang sedang ngetrend sekarang ini bukan sedekah pamer, tapi sedekah ekstrim. Bersedekah dalam jumlah melampaui batas, tanpa menghiraukan akibat logisnya.

Misal seorang penjual pecel lele memiliki sejumlah uang dalam usahanya.

Sepertiga untuk operasional, sepertiga untuk mengembangkan cabang warung lain, sepertiga untuk cadangan tak terduga.

Pedagang pecel lele ini berdagang seperti biasa dengan biaya operasional dari sepertiga kekayaannya.

Di sisi lain, ia juga bersedekah dengan dua per tiga kekayaannya yang seharusnya untuk mengembangkan cabang dan dana cadangan.

Bersedekahlah ia dengan harapan dua per tiga harta yang ia sedekahkan kembali dengan jumlah berlipat ganda.

Seminggu, sebulan, setahun, keuntungan sedekah yang ia harapkan tidak datang juga.

Sementara usaha pecel lele yang sedang berjalan tidak mengalami kemajuan yang berarti.

Sementara teman-teman yang menjalani usaha dengan hitungan logis dan sedekah 'biasa' saja semakin maju.

Bahkan membuka banyak cabang di seantero kota dengan pembeli yang terus ramai.

Bagaimana dengan pengusaha yang bersedekah ekstrim tadi? Usahanya jalan di tempat. Umpan sedekah yang ia lemparkan tidak membuahkan apa-apa.

Ya, umpan! Ia seolah sedang memancing Kekayaan Tuhan dengan umpan sedekahnya.

Ini jenis sedekah yang menurut saya tidak boleh diajarkan.

Dari dua jenis sedekah yang boleh diajarkan cuma ada sedekah sirr (dirahasiakan) dan 'alaniyah (diumumkan).

Sedekah ekstrim tanpa memperhitungkan akibat logis dengan kesan memancing pemberian Tuhan tidak pernah diajarkan.

Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq memang pernah menyumbangkan seluruh kekayaannya untuk ekspedisi Tabuk. Tidak ada yang seperti beliau.

Tapi ini beliau lakukan untuk tujuan mencontohkan orang banyak agar ikut bersedekah. Sama sekali bukan memancing kemurahan Allah.

Sampai akhir hayatnya beliau bahagia dalam kesederhanaan, bukan nelangsa sebab pancingan sedekah tidak membuahkan apa-apa.

Betul bahwa menanam satu biji akan menumbuhkan tujuh tangkai. Setiap tangkai membuahkan seratus biji.

Betul bahwa Allah mampu melipatgandakan lebih dari itu untuk orang yang Dia kehendaki.

Betul bahwa sedekah itu menghindarkan bencana. Betul semua yang termaktub dalam teks agama.

Dan logika tetap harus digunakan untuk menolak sedekah ekstrim yang cuma memancing Gusti Allah menurunkan balasannya.

Keikhlasan juga jadi pondasi utama dalam segala hal, termasuk sedekah ini. Mari bersikap logis dan ikhlas dalam bersedekah.

Semoga kita tidak termasuk orang yang memancing kekayaan Tuhan tanpa keikhlasan.

Semoga kita tidak terpancing oleh pemancing sedekah ekstrim tanpa perhitungan matang dan ketulusan.

Wallahu a'lam bishshawab.

Selasa, 17 Februari 2015

Memanggil Tuhan atau Sponsor dan Iklan

Satu hari saya bertemu dengan seorang kawan di satu kajian. Dia menceritakan obrolannya beberapa waktu lalu dengan umat Budha.

Di Taman Mini Indonesia Indah, penganut Budha ini bertanya kepada teman saya, "Apa menurut umat muslim Tuhan itu jauh?" Tidak, jawab teman saya. "Lalu mengapa dalam berdoa umat muslim sering memakai pengeras suara?" Teman saya bilang, itu cuma sebagian muslim saja, tidak semua. Saya pribadi tidak setuju dengan pengeras suara yang mengesankan kementang-mentangan mayoritas. Ojo dumeh!

Kalaupun untuk memanggil solat, cukup satu kampung satu pengeras suara. Bacaan solat tidak usah dikeraskan keluar masjid, apalagi doa dan pengajian, tabligh akbar dan semacamnya. Kalaupun butuh pengeras suara, cukup suara untuk menjangkau jamaah pengajian di majlis itu saja. Karena kita hidup bersama saudara kita yang mungkin punya kesibukan lain, atau butuh ketenangan dari suara bising. Apalagi berdoa sambil menangis-nangis di depan kamera!

Seusai dari ekspedisi Khaibar, Kanjeng Nabi melewati lembah dan perbukitan. Bersama pasukan menikmati perjalanan pulang. Tiba-tiba, sebagian orang berteriak-teriak megucapkan 'La ilaha illallah' dengan suara keras. Nabi menegur mereka, "Untuk diri kalian sendiri! Kalian bukan sedang memanggil Orang Tuli yang jauh. Sesungguhnya yang kalian panggil adalah Yang Maha mendengar lagi maha dekat."

Memanggil Allah, berdoa dalam bahasa arabnya, punya beberapa tata-krama yang harus dipatuhi. Pertama,cuma kepada Allah. Karena yang dipanggil adalah Allah semata, maka adab berikutnya harus terpenuhi: merendah, bersuara pelan, tidak berlebihan, takut dan penuh harap.

Merendahlah. Bagaimana mungkin kita butuh kepada Allah dan minta kepada-Nya dengan sikap tinggi hati, ujub dan merasa paling dekat dengan-Nya. Bersuara pelan. Sebab Allah lebih dekat dari nadi kita, Maha mendengar segala yang samar. Berdoalah dengan tenang dan penuh keyakinan, bukan dengan berteriak skeptis terhadap kemahamendengaran Allah.

Jangan berlebihan dan mendikte Allah. Seseorang berdoa kepada Allah agar diberikan bidadari surga yang menyambutnya datang dari sisi kanan surga. Menuangkan air minum ke cawan dan memandikannya. Memohon perlindungan kepada Allah dari siksa hidup, tetangga yang buruk, penghasilan yang minim, keadaan kekurangan jajan anak-anak dan kebangkrutan usaha kecilnya: jual pulsa dan es lilin. Ini doa yang berlebihan. Mintalah kebaikan dunia akhirat. Mohonlah perlindungan dari segala hal buruk. Cukup itu. Tidak berlebihan.

Takutlah kepada Allah kalau ia membalas dosamu dan menolak amal-ibadahmu. Penuhkan harapmu cuma kepada Allah. Hilangkan sikap pesimis terhadap pemberiannya dan karuniaNya yang maha banyak.

Dan lebih dari segala adab di atas, berdoalah dari satu titik keberangkatan: taubat dan hati yang bersih. Wallahu a'lam bishshawab.